Wednesday, September 11, 2019

Selamat jalan, Eyang


Suatu kali aku ditanyai papa, “cita-citamu apa?” Kujawab, “jadi Habibie”. “Jadi insinyur mungkin, bukan Habibie”, timpal papa. Kurasa sosok ini begitu menggema di televisi, sampai-sampai tersebut namanya dalam cita-cita seorang bocah. Saat itu usiaku mungkin belum genap 8 tahun.

Mungkin kebetulan atau memang doktrin masa kecil yang kuat melekat, jalanNya membawaku ke industri dirgantara, bidang di mana nama besarnya dielukan. Masih kuingat saat bingung menentukan pilihan jurusan universitas yang ada di buku panduan UMPTN, salah satu yang terbersit di benakku adalah Teknik Penerbangan. Semesta seolah mengiyakan lewat komentar papa waktu itu, “Teknik Penerbangan aja, katanya mau jadi Habibie."

Sekali ketika aku bertemu. Beliau begitu rendah hati menyapa para mahasiswa sebagai cucu-cucunya, ramah menatap kami yang berjejer rapi bergiliran ingin menyalami sang idola. Waktu itu, aku sempat iri saat yang eyang elus adalah pipinya salah satu seniorku. Iya, dulu aku senorak itu.

11 September 2019. Hari ini beliau berpulang, menyisakan cerita dan cita-cita. Aku masih bertahan di sini, bersama kenangan Gatot Kaca yang beliau torehkan saat dipanggil kembali ke Indonesia, masih di sini mencoba melanjutkan cita-cita Habibie untuk pesawat merah putih. 

Tapi eyang, sedihku hari ini bercampur kecewa. Ada hal yang membuatku ingin berhenti saja. Aku khawatir tak bisa bertahan sampai cita-citamu mengangkasa. Maaf, eyang, tapi ketika suatu itu sudah tidak lagi masuk dalam lingkaran toleransi, aku akan pergi. Hahaha, tapi aku siapa, sih? Hanya kerikil di gunung kepintaran Habibie. Pergiku pun tak ada pengaruh untuk cita-citamu. Maafkan ketidaksopanku. Sempat-sempatnya aku berkeluh di saat engkau berpulang.

Eyang, baktimu di dunia selesai sudah. Terima kasih telah hadir menjadi sosok cendikia tempatku menggantungkan cita. Selamat jalan, Habibie. Selamat beristirahat. 

Tuesday, April 30, 2019

Merbabu, 6 Tahun Kemudian

Okay, saya memang 'anget-anget taik ayam'. Hari ini sudah dua bulan lebih sejak unggahan terakhir. Bukan karena sibuk, tapi memang malas. Sepertinya saya punya masalah konsistensi, antusiasme di awal sulit dijaga supaya terus berkelanjutan. Tidak hanya tentang blog, tapi juga hal lainnya. Kerap kali semangat menggebu dengan hal-hal baru, namun kemudian loyo karena hambatan muncul di tengah jalan. Ah, lemah kamu, ling! Mungkin beberapa dari pembaca (kalo ada yang baca) juga punya masalah yang sama. Tapi ya.. seperti kali ini, ayo kita sama-sama mencoba lagi, lagi dan lagi. 

Mumpung belum berganti bulan, saya ingin menuliskan tentang April tahun ini, tentang perjalanan yang menutup episode pertama di 2019 sebelum memasuki bulan puasa.

***
Selain bulan rilisnya season final Game of Throne, April tahun ini juga jadi masa perebutan kekuasaan di Indonesia antara dua kubu calon presiden, Jokowi dan Prabowo. Tidak, saya tidak akan membahas tentang kericuhan pemilu. Yang akan saya ceritakan adalah berkah pesta demokrasi Indonesia yang berdampak langsung terhadap status saya sebagai buruh korporat, hari kejepit. Pemilu yang jatuh pada hari Rabu dan libur Paskah pada hari Jumat menghadirkan libur panjang di pertengahan bulan. Dengan cuti di hari Kamis, saya bisa menikmati libur selama lima hari. Hal mewah untuk para pekerja 5/7 seperti saya.

Awalnya saya berencana diving di Menjangan, Bali. Lima hari agaknya cukup untuk menikmati laut di bulan April, saat musim penghujan sudah usai. Tapi ternyata sesekali hujan masih juga deras. Di sisi lain, aturan baru tarif batas bawah membuat tiket pesawat semakin mahal.  Hal-hal ini menguatkan keputusan saya untuk menunda diving. Padahal sih, alasan utamanya sederhana, lagi kere, hahaha. Kalau dihitung-hitung tidak kurang dari Rp. 5.000.000 akan saya habiskan untuk sekali perjalanan diving. Bukan jumlah yang sedikit, apalagi saat saya sedang ada kebutuhan finansial lainnya yang lebih mendesak. Sudahlah, liburan ke Bali akhirnya saya urungkan.

Janggal rasanya saat libur panjang menetap di Bandung. Di kantor pun, rekan-rekan lainnya cukup paham dengan tabiat saya yang biasa memanfaatkan 'hari kejepit' dengan optimal untuk menginjakkan kaki di luar kota kembang. Pikir saya, saya tetap harus traveling mengusir kepenatan dari rutinitas, dengan budget yang lebih murahAkhirnya, saya bergabung dalam pendakian Merbabu bersama teman-teman #onemonthonetrip.

Kami berduabelas berangkat hari Kamis malam menuju Gancik mengakomodir teman-teman yang tidak cuti setelah pemilu. Saya sih tetap cuti sembari recovery  dari batuk yang menyiksa. Mungkin ini juga salah satu hikmah kegagalan diving trip. Saya terserang batuk berat seminggu sebelumnya. Entah seperti apa rasanya batuk-batuk di dalam laut dengan nitrogen yang bikin tenggorokan kering. Memang, orang Indonesia selalu melihat 'untung' dibalik kejadian. Hahaha.. Bisa jadi bentuk syukur atau kita hanya mencoba berdamai dengan kemalangan. 

***
Enam tahun silam, tepatnya Agustus 2013 merupakan kali pertama saya ke Merbabu. Bersama teman-teman Galang, Galau Petualang (I know it is lame, you can smirk), kami mendaki Merbabu via Wekas. Setau saya ada enam jalur pendakian untuk mencapai puncak Merbabu. Wekas adalah jalur yang yang cukup menantang. Kami harus melintasi jalan berbatu dan melipir tebing terjal. Lima belas orang akhirnya berhasil menggapai atap Jawa Tengah. Samar-samar saya masih mengingat harunya perayaan hari kemerdekaan di puncak puncak gunung. Sedikit kisah kami terekam dalam momen-momen yang diabadikan di video ini. 


Dari Galang untuk HUT RI ke 68


Berbeda dengan pendakian pertama saya, kali ini kami akan menyusur jalur Gancik untuk menuju puncak Merbabu. Dari diskusi singkat sebelum berangkat, kami sepakat membatasi pendakian hari ini hingga jam 5 sore dan mendirikan camp di camping ground terdekat. Target kami adalah Sabana 1, tapi jika memang kaki bisa melangkah lebih cepat, kami akan bermalam di Sabana 2. Saya sendiri lebih senang mendaki saat hari masing terang karena sedikit tidak nyaman dengan gelap. Kami memulai pendakian siang hari karena terlambat tiba di basecamp, sekalian para lelaki menyempatkan sholat Jumat terlebih dahulu. Untuk mempersingkat perjalanan, kami naik ojek hingga ke Pos 1. Gila, walaupun jalannya sudah dibeton, tapi terjalnya tanjakan dan sempitnya jalur ojek membuat saya awas. Ditambah beban tas keril di punggung, perjalanan dengan ojek rasanya ngeri-ngeri sedap. 

Alhamdulillah selama perjalanan tidak turun hujan. Kami sampai Sabana 1 pukul 5 lebih sekian. Saya tidak begitu ingat pastinya. Beberapa dari kami mulai mendirikan tenda. Penuh sekali camping ground ini. Info dari penduduk lokal mungkin ada 2000 orang  mendaki di hari yang sama. Untuk menampung 12 orang, kami harus mendirikan 4 tenda. Mencoba menyusup di tengah keramaian pendaki mencari tempat seadanya. 

Dua kali mendaki gunung yang sama, tentu saya menbanding-bandingkan kondisi keduanya. Rasanya dulu tidak lebih dari 20 tenda di satu camping ground. Tapi kini jumlahnya ratusan. Saking ramainya, saya bahkan tidak menemui teman lain rombongan yang ternyata mendirikan tenda di pos yang sama dan sampai pada waktu yang nyaris bersamaan pula. Saya hanya melihat lautan manusia. 

Enam tahun berlalu agaknya minat pendakian semakin tinggi, belum lagi masa libur panjang yang ikut mengaminkan keadaan ini. Semakin banyak teman pendaki memang, tapi concern saya, selain macet di jalur pendakian, akan semakin sulit mencari lokasi tersembunyi untuk buang air, hahaha. Sekalinya nemu lokasi, banyak sampah tisu yang dibiarkan berserakan oleh si empunya hajat. Itu yang saya temui di pendakian Merbabu kali ini. Jorok! Entah mereka minim pengetahuan atau memang tidak peduli dengan kotoran pribadi yang mencemari alam. 

Diantara perbedaan-perbedaan itu, Merbabu masih menyuguhkan pemandangan yang indah. Salah satunya mentari pagi yang mengintip dari balik lautan awan. Sunrise memang menjadi salah satu momen yang diburu para pendaki. Biru dan jingga pagi dari ketinggian rasa-rasanya berbeda dengan pemandangan jendela dari sudut kota. Mesti harus menyisip di antara kerumunan manusia untuk dapat memandangnya semburat warnanya dari sisi tebing, momen ini memang memanjakan mata saya yang masih berat menahan kantuk.

Kami menuju puncak Merbabu saat matahari terbit sempurna. Setelah sarapan seadaanya kami memulai pendakian. Tidak terlalu ambisius, perjalanan ini santai dan banyak waktu kami habiskan untuk mengabadikan momen kebersamaan di alam Merbabu yang hijau merekah. Indah banget. Buat saya, ini salah satu gunung terindah di pulau Jawa yang pernah saya daki. 

Mungkin sekitar jam 9 beberapa dari kami tiba di puncak Kenteng Songo. Sebagian dari rombongan sudah sampai duluan. Yang menarik dari puncak ini adalah mitos tentang jumlah kenteng yang bisa kita lihat. Katanya, jika orang yang melihat punya kekuatan ghaib, mereka bisa melihat 9 lubang seperti lubang lumbung. Dari sinilah nama Kenteng Songo berasal. Saya sendiri, dari dua kali pendakian, hanya melihat 4 kenteng, sama seperti kebanyakan pendaki lainnya. 

Puncak Merbabu, 6 tahun lalu

Satu yang berkesan dari puncak Merbabu pertama saya adalah bayangan gunung yang saya lihat dari puncak. Saya tiba di puncak saat posisi matahari tepat menyuguhkan bayangan indah dengan latar belakang biru yang menghampar luas. Saat pertama saya melihat yang seperti ini. Menarik, terus berkesan hingga sekarang. Kali ini, tidak ada bayangan yang serupa, saya tiba di jam yang berbeda. 


Tapi Merbabu tetap saja cantik, dulu maupun sekarang. Yang berbeda cuma jumlah penikmatnya saja. 





Thursday, February 21, 2019

Dari atas Belgia

Di postingan sebelumnya sudah saya singgung rencana skydiving dalam perjalanan saya menjajal barat Eropa. Dan kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya terjun dari pesawat di langit Belgia, skydiving. Buat yang belum tau, simpelnya skydiving itu terjun bebas dari pesawat, dari ketinggian tertentu dan kemudian mendarat dengan menggunakan parasut. Serupa terjun payung, bedanya skydiving diawali dengan akrobat di udara sebelum parasut dibuka.

Hasrat ingin skydiving sebenernya sudah dipupuk sejak salah satu teman, Stepen, memamerkan videonya yang lebih dulu mencoba skydiving di Jepang. Sejak saat itu, skydiving is on my long to-do-list. Yang saya bilang to-do-list sebenarnya adalah daftar angan-angan yang ada di khayalan saya, tidak benar-benar saya tuliskan. Tapi intinya, satu lagi capaian saya tuntaskan di perjalanan ke Eropa kali ini.

Dari hasil penelusuran di Google, saya memilih Spa Skydiving yang ada di Belgia. Dengan membanding beberapa operator skydiving di Belanda, Prancis dan Belgia, Spa Skydiving lah yang paling memenuhi kriteria; websitenya bagus dengan dilengkapi versi bahasa Inggris, menawarkan fitur daftar secara online dan  available  di tanggal yang saya inginkan. Tapi sebenarnya alasan utamanya bukan itu. Spa Skydiving terpilih karena paling murah diantara operator-operator lainnya. Hehehe, mohon dimaklumi kondisi kantong mahasiswa rantau dengan beasiswa dari negara, prinsip ekonomis pastinya selalu diutamakan. Saya harus merogoh kocek £190 untuk paket skydiving dengan video. Bukan jumlah yang kecil tapi ini jauh lebih murah dibandingkan skydiving di UK untuk paket yang sama, yang dihargai £300. Hampir setengahnya kan?!

***

Hari pertama di Belgia, saya, Alus dan Ollie mengitari kota Brussel bak turis-turis lainnya. Kami mencari waffle, mencoba coklat dan satu hal yang paling berkesan, menemui sang legenda Manneken Pis. Dari brosur yang kami dapatkan di penginapan, patung ini adalah salah satu objek wisata terkenal di Brusel. Sampai di sana memang banyak sekali wisatawan berkerumun, membuat kami penasaran. Tapi ternyata Manneken Pis hanyalah patung anak laki-laki yang sedang buang air kecil. Entah apa yang membuat patung setinggi 60 cm ini menjadi sangat termasyur. Yang saya tau, kadang-kadang patung ini didandani dengan kostum lucu dengan tema tertentu. Sayangnya saat ini dia sedang telanjang tanpa baju.


Manneken Pis dari kejauhan
Highlight perjalanan di Belgia ada di hari kedua, tentu saja skydiving. Kami menempuh perjalanan kereta selama 2 jam dari Brussel untuk sampai di Spa, kota kecil di pinggiran Belgia. Katanya sih kota ini merupakan asal muasal spa yang populer di salon-salon kecantikan saat ini.

Untuk sampai di Spa Skydiving kami masih harus menumpang taxi yang saat itu mungkin cuma satu-satunya. Dari bincang-bincang dengan bu supir, kota ini hanya ramai di waktu-waktu tertentu, saat kompetisi F1 misalnya. Spa memang menjadi salah satu tuan rumah balapan F1 karena punya Circuit de Spa-Francorchamps. Sayang kami tidak sempat mampir ke sirkuit tersebut karena mengejar jadwal kereta kembali ke ibukota.  

Hari itu cukup banyak yang datang untuk skydiving. Sepertinya ada satu komunitas yang sedang liburan bersama. Ada sekitar 30 orang yang akan melakukan penerjunan di hari yang sama. Satu sesi penerbangan hanya bisa dilakukan maksimal 6 orang dengan instruktur personal masing-masing. Pesawat Cesnna Caravan hanya mampu membawa 12 penumpang untuk sekali penerbangan. Bagi peserta yang belum punya lisensi skydiving, penerjunan harus ditandem dengan instruktur profesional. Kami, peserta, hanya perlu santai, pilih dive suit, sarung tangan dan kacamata. Setelah ikut briefing singkat nasib kami tergantung sang instruktur.

Tidak sedikit dari kami yang takut dan tegang. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa skydiving adalah salah satu olahraga ekstrim. Berulang kali Yves, sang instruktur bertanya kesiapan saya dan memastikan kalau saya rileks dan akan menikmati adrenaline rush satu ini. Yves sendiri sudah puluhan tahun bergelut di olahraga ini. Tapi satu yang lebih mencengangkan, kakek-kakek yang sudah berumur 70an tahun terjun solo dan mengambil foto udara para peserta. Katanya tidak ada yang bisa mendokumentasikan momen-momen skydiving lebih bagus daripada sang kakek.  di  asal Belgia, yang udah skydiving puluhan tahun. Yang lebih keren lagi ada satu kakek-kakek 70an yang terbang solo dan moto para penerjun. Katanya, ga ada yang bisa lebih bagus dari dia buat dokumentasiin momen-momen skydiving.

Setelah briefing, kami terbang untuk mencapai ketinggian 13000 ft, ketinggan terjun skydiving. Di dalam pesawat, para peserta dilekatkan dengan instruktur masing-masing. Saya 'digendong' di depan Yves, seperti anak kangguru yang menempel di perut bapaknya.

And the time has come! Terlalu excited untuk takut walaupun sebelum lompat dari pesawat saya sempat deg-degan. Tapi karena tandem dengan instruktur berpengalaman, saya merasa aman. Sebelum lompat, instruktur memastikan kami siap, jangan sampai malah terpaksa jadi takut sehingga tidak menikmati prosesnya. Sayang aja kan, tapi lebih sayang uangnya sih kalau gagal terjun. Hahaha. Satu persatu kami akhirnya terjun dari pesawat.

Ada dua tahapan skydiving sebelum akhirnya mendarat. Pertama, free fall tanpa parasut. Keluar dari pintu pesawat, kita akan terjun bebas dari ketinggian 13000 ft, sekitar 4000 m. Free fall ini berlangsung 30 sampai 40 detik. Sebentar memang, tapi sudah cukup lama untuk merasakan sensasi terbang bebas bak burung di udara. Menurut saya ini adalah bagian paling fantastis dari skydiving. Kecepatan saat free fall bisa mencapai 120 mph, cukup untuk turun setengah jalan. Ya kalau dihitung-hitung, dengan kecepatan 120 mph selama 40 detik akan mengurangi ketinggan terbang sekitar 6200 ft.

Tahap kedua dimulai saat parasut mulai dikembangkan. Saat itu, saya merasa ditarik kembali ke atas. Disinilah kita mulai bisa mengatur maneuver terbang; belok kiri, kanan, turun, hingga spiral. Sebagai instruktur yang baik, Yves memberikan kesempatan kepada saya untuk mencoba mengendalikan pasarutnya. Ternyata berat sekali menarik kendali parasut untuk mengatur maneuver terbang. Mungkin dua tiga kali skydiving otot lengan saya akan langsung terbentuk. Maneuver paling asyik menurut saya adalah spiral. Tiga kali diberi gerakan serupa saya masih belum puas. Seru! Sampai akhirnya saya harus dihadapkan kenyataan bahwa keseruan ini akan segera berakhir. Waktunya mendarat.

Saya mendarat paling akhir dibandingkan Ollie dan Alus. Bukan berarti saya terbang paling lama, hanya saja saya mendapat urutan terakhir. Kira-kira dari terjun hingga mendarat akan menghabiskan waktu 15 menit. Sebentar memang, membuat saya ingin mencoba lagi, tapi apa daya bayarannya menguras kantong. Tapi setidaknya momen-momen seru tadi diabadikan dalam video yang sudah saya pesan agar bisa dilihat ulang sambil bernostalgia. Nah, untuk peserta yang mengambil paket video, selain dokumentasi udara, para instruktur juga mendokumentasikan proses skydiving mulai dari briefing sampai mendarat kembali.

Sudah lama saya ingin memposting video skydiving ini, hanya saya belum rela memampang muka jelek saya saat sedang terjun bebas. Karena terlampau excited saya berteriak-teriak kegirangan. Kyaaaaa! Sampai-sampai gigi kering karena lupa mingkem. Tapi disinilah letak kesalahan terbesarnya. Karena kecepatan yang dahsyat disertai teriakan, pipi saya bergoyang-goyang saat free fall, hidung kembang kempis, belum lagi kacamata plastik perusak kontur wajah ditambah gigi tongos yang lupa disembunyikan. Jadilah muka ini gagal tampil. Buat pamer di social media, foto saya pun harus melalui beberapa tahap pensortiran agar layak unggah.

Jadi, untuk kalian yang ingin skydiving, cobalah behaved. Jangan terlalu pecicilan, dan usahakan mingkem saat terjun bebas. Jika cukup uang, belilah kacamata gaya seperti Yves. Niscaya muka kalian akan terselamatkan di video nantinya. Karena jika tidak foto seperti inilah yang akan kalian dapatkan.


My ugly yet happy face

Thursday, February 14, 2019

Timur Indonesia

Bagi saya mengujungi tempat-tempat baru selalu menarik. Baik pantai, gunung, kota ataupun desa, masing-masing punya daya tarik tersendiri. Sering kali saya berpergian bersama teman-teman yang juga memiliki hobi serupa. Namun sendiri pun tak mengurungkan niat saya untuk travelling. Mengutip sebuah quote yang mengatakan bahwa ‘like a booktravel is the thing you buy that makes you richer’. Saya sependapat. Travelling adalah investasi yang membuat saya kaya akan pengalaman dan wawasan. Seperti halnya Semeru yang mengajarkan saya semangat pantang menyerah, Wakatobi yang mengajarkan toleransi dan ketegaran, Selayar yang mengajarkan saya untuk berani dan berpikir positif, serta Rinjani yang mengajarkan saya empati dan bertahan hidup. Tidak hanya menikmati indahnya nusantara, tapi semua perjalanan pasti mengajarkan saya berteman dan berbaur. 
Satu persatu perjalanan-perjalan itu mungkin akan saya ceritakan di blog ini. Namun kali ini saya akan menulis singkat tentang perjalanan saya tahun 2014 bersama Kerehore, sebuah grup pejalan yang mengusung moto as far as we can go, as cheap as we can pay, as happy as we can be. Kala itu kami melintasi daratan Lesser Sunda, menyusur gunung juga pantai selama 2 minggu. Berawal di Bali. 
Peta Perjalanan Kerehore
Dari Bali kami menyebrang ke Kenawa, pulau tak berpenghuni yang berjarak 20 menit dari pelabuhan Pototano dengan kapal penduduk. Snorkeling di laut lepas, makan siang dengan ikan hasil bakaran sendiri dan berburu pemandangan malam di bawah langit Kenawa yang cerah dan penuh bintang, jauh dari polusi.
Lepas dari Kenawa, perjalanan kami lanjutkan menuju Dompu untuk pendakian gunung Tambora. Sejauh pendakian saya, Tambora adalah gunung yang paling menantang. Tidak begitu banyak pendakian ke gunung yang pernah meletus dasyat 200 tahun silam ini. Akibatnya, jalur pendakian tidak begitu jelas. Pacet, jelatang dan jalanan yang licin setelah hujan membuat kami harus ekstra hati-hati. Sukses dengan pendakian Tambora yang menantang kami pun melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo.
Di Labuan Bajo menginap di pos jaga TNI. Bermodalkan kenalan salah satu teman kami mendapatkan tempat bermalam seadanyan dengan cuma-cuma. Cukup membuat backpacker seperti kami berhemat. Perjalanan seperti itu membuat kami menghargai kebersamaan dan bahagia dengan hal-hal kecil yang sering kali terlupakan dengan kesibukan di kota. Kami menyetop abang-abang penjual ‘bakso tusuk’ di depan pos jaga. Kesepuluh pejalan ini kembali ke masa kanak-kanaknya bahagia berebutan memborong bakso langsung dari panci sang penjual.
Tujuan kami singgah di Labuan Bajo adalah Kepulauan Komodo. Setelah bernegosiasi dengan penduduk lokal salah satu pemilik kapal, lusa kami pun akan berlayar menemui salah satu golongan dinosaurus terakhir, Komodo. Living on boat selama dua hari ditemani hujan abu vulkanik dari gunung Sangiang yang meletus saat kami mencapai Pulau Komodo. Karoke lagu-lagu timur bersama awak kapal menemani kami menghabiskan malam.
Puas memanjakan mata dengan pemandangan Indah Gili Laba, Pink Beach, dan diving bersama penyu-penyu di Kanawa, kami kembali ke Bajo untuk melanjutkan perjalanan ke danau tiga warna di Ende. Perjalanan dengan pick-up yang di atapi seadanya, cukup melelahkan karena jalanan di beberapa desa tidak begitu bagus. Tanah longsor di desa Ruteng memberi kami kesempatan istirahat lebih lama. Bak reporter berita kami merekam kejadian dan mewawancarai supir agar waktu menunggu jalan kembali dibuka terasa cepat berlalu. Tengah malam setelah perjalanan panjang dari Bajo kami tiba di desa Moni. Kami menghadiahi diri dengan kasur nyaman di hostel milik bapak Silverster. Keluarganya ramah, mereka tinggal di belakang penginapannya. Berbincang dengan ibu dan anaknya membuat hangat kebersamaan kami di Moni. Saya selalu suka senyum anak timur yang lebar dan kontras dengan warna kulitnya, terasa begitu lepas dan tulus.
Kami kembali berjalan menuju danau tiga warna, Kelimutu. Harapan menjumpai sunrise saat jingga mentari berbaur dengan birunya langit, mendorong kami untuk berangkat pagi buta keesokan harinya. Di puncak kami disambut awan tebal. Bapak penjual kopi berkata bahwa masyarakat lokal percaya jika siulan akan mendatangkan angin yang mengusir awan. Kami bersiul bersama sambil menikmati kopi jualannya menunggu awan pergi. Hingga akhirnya hari pun cukup siang untuk menampakkan pemandangan indah danau tiga warna. Saat itu warnanya biru muda, hijau dan hitam. Warnanya berganti disaat-saat tertentu. Magis katanya, tapi menurut ahli, ini disebabkan kandungan-kandungan mineral di dasar danau. Perjalanan 2 minggu kami berakhir di sini. Kami kembali ke Ende untuk kemudian terbang ke kota masing-masing melanjutkan rutinitas. Namun kami pulang dengan banyak cerita baru tentang Indonesia yang menakjubkan.
Rekam jejak kealayan kami di Kepulauan Lesser Sunda

Kerehore: Eling, Irene, Uri, Ayu, Dewi, Endang, Iwan, Kasfika, Elri, dan Wafiqni

Thursday, February 7, 2019

Memeluk Mimpi di Kota Paris (Part 2)

Sebelumnya sudah saya tuliskan cerita tentang Le Bourget di hari pertama saya menginjak kota Paris. Ini lanjutannya.

***
Di hari kedua saya dan Ollie berniat keliling kota melihat atraksi-atraksi utama kota Paris, sementara Alus akan jalan-jalan dengan temannya sambil mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Belanda, mungkin juga berhenti di restoran untuk mencicipi baguette dan croissant, pastri khas Perancis. Saya dan Ollie sedang berpuasa. Hari ini sudah memasuki hari ketiga bulan Ramadhan. Puasa di Eropa adalah pengalaman pertama buat kami berdua terlebih saat ini adalah musim panas. Artinya, kami harus menahan lapar dan dahaga lebih lama dibandingkan kebiasaan di Indonesia. Sembilan belas jam sejak pukul 02.30 hingga 21.30. Hebatnya lagi, kami tidak terbangun dini hari ini untuk sahur. Mungkin lelah yang menumpuk sejak perjalanan dari Brussel membuat kami terlalu lelap tadi malam. 

Kami mengunjungi menara Eiffel, namun setibanya di sana kami tidak begitu antusias, mungkin karena begitu banyak orang di ikon wisata ini. Energi kami seolah terserap oleh sesak kerumunan manusia. Mungkin juga kami dehidrasi karena puasa tanpa sahur. Tenggakan minuman kaleng dingin di meja para pengunjung yang sedang beristirahat di teras kafe sekitaran Eiffel benar-benar menggoda iman.

Berada di pinggir sungai Seine, kami tidak ingin melewatkan kesempatan berkeliling kota Paris dengan cruising boat. Waktu itu tiket per orang dibandrol seharga €15 (sekitar Rp225.000). Cukup duduk manis di kapal dan tour guide akan menjelaskan sejarah setiap landmark yang kami lewati selama satu jam perjalanan, seperti Notre Dame Catedral, Pont Neuf dan Orsay Museum. Kami memilih duduk di bagian kapal paling atas yang terbuka tanpa atap agar lebih leluasa memandangi kota. Di dalam kapal ada bar kecil yang menjual sandwich dan minuman dingin. Kalau saja kami tidak berpuasa, tentu sangat nikmat meneguk sebotol coca-cola di tengah teriknya matahari Paris. 

Sebelum berangkat kami disarankan Tsania untuk mengunjungi museum Louvre, tempat tinggal lukisan tersohor Monalisa. Katanya, ada pintu masuk alternatif di sekitaran area perbelanjaan Rue de Rivoli dengan antrian yang lebih sedikit dibandingkan pintu masuk utama. Sayangnya kami tidak menemukan pintu yang dimaksud. Akhirnya kami hanya berkeliling di luar museum, beristirahat di sekitar ‘Louvre Pyramid’ sambil memperhatikan orang-orang di sekitar. Banyak pengunjung yang berfoto seolah-olah memegang puncak piramid, ada sekelompok wanita yang sepertinya sedang merayakan kebersamaan dengan berfoto bersama dengan calon mempelai wanitanya, ada pula penjual souvenir yang hilir mudik menjajakan gantungan kunci replika menara Eiffel. 

Selepas dari Louvre kami berniat menyambangi Arc de Triomph, monumen kemenangan Napoleon saat perang dunia ke-2. Di barat Louvre kami melihat sebuah monumen serupa namun lebih kecil dan ada beberapa patung kuda di atasnya. Ternyata memang ada dua monumen kemenangkan di kota Paris dan keduanya dimaksudkan untuk menyambut kemenangan sang penjelajah. Monumen yang baru saja kami lihat ternyata adalah Arc de Triomphe du Carousel yang memang kerap mengecoh wisatawan. Sedangkan Arc de Triompe de l’Etoile yang kami maksud berada di ujung jalan Champs Elysees dengan ukuran dua kali lebih dibandingkan monumen satunya. Bersyukur kami bisa menghampiri kedua gerbang megah yang dibangun tahun 1800-an ini. 

Tidak banyak yang spesial di hari ini. Seperti kebanyakan wisatawan asing lainnya, kami mengunjungi beberapa landmark utama kota Paris. Satu hal yang tidak biasa bagi saya dan Ollie adalah duduk lesehan di sebuah plaza terbuka sambil mengelilingi penampilan break-dance dari beberapa anak muda kota Paris. Tentu bukan tontonan gratis. Diakhir liak-liuk atraksi, mereka menyodorkan ember kecil untuk menampung recehan Euro dari para penonton.
Sajian break dance di kota Paris

Hampir satu jam kami habiskan di plaza itu namun senja pun belum terlihat tanda-tanda kedatangannya. Artinya waktu buka puasa masih lama. Kami pikir akan sangat membosankan jika kami pulang dan menunggu senja sambil bermalas-malasan di kamar Tsania. Toh kami sudah tidur panjang tadi malam. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengunjungi salah satu taman di pinggiran Paris yaitu Saint Germain en Laye. Dari pusat kota, taman ini bisa dicapai sekitar empat puluh menit perjalanan menggunakan RER dan dilanjutkan dengan bis. Seperti taman-taman di Paris pada umumnya, Saint Germain en Laye adalah pekarangan sebuah kastil dengan nama yang sama. Sekarang kastil ini difungsikan sebagai museum arkeologi. Posisi taman yang cukup tinggi membuat kami bisa menatap kota Paris dari ketinggian. Sore itu pun kami habiskan dengan bersantai sambil menikmati musik di hamparan rumput taman yang luas. 

***
Ini adalah hari terakhir kami di Paris. Alus akan kembali ke Delft siang ini. Sedang saya dan Ollie akan kembali ke Inggris besok pagi-pagi sekali. Karena bis dimulai pukul 05.00, maka kami memutuskan untuk bermalam di bandara Charles de Gaulle agar tidak terlambat esok hari. Pesawat Ollie akan take-off pukul 07.00 menuju Southampton. Sedangkan saya berangkat menuju London pukul 08.00. Di hari Minggu ini kami hanya bermalas-malasan bersama Tsania di kediamannya. Rencananya kami akan menghabiskan malam di kota Paris menikmati festival musik sambil menunggu kereta terakhir ke bandara. Setiap tahunnya, pada tanggal 21 Juni memang selalu digelar FĂȘte de la Musique yang secarah harfiah berarti festival musik. Tradisi ini dimulai di Paris tahun 1982 untuk merayakan summer solstice, titik balik matahari di musim panas. Sepanjang hari ini akan banyak gigs dengan beragam genre musik yang memenuhi sudut-sudut kota Paris. Dan semuanya bisa kita nikmati secara gratis. 

Hingga sore, hari ini hanya kami habiskan dengan ngobrol dan melihat foto-foto dari perjalanan kemarin. Sebelum benar-benar beranjak dari Rueil Malmaison, saya dan Ollie memasak perbekalan buka hari ini dan sahur esok hari. Sosis goreng, telor rebus dan pisang untuk sahur, sedang capcay udang, kentang, choco mouse dan aneka coklat untuk berbuka puasa. Rencananya kami ada berangkat menjelang berbuka puasa dan menunggu magrib sambil menikmati matahari senja di Luxemburg Jardin, taman seluas 25 ha yang merupakan pekarangan dari Luxemburg Palace. Setelahnya kami berharap disuguhi alunan lagu dari musisi kota Paris. 

Sekitar pukul 20.00 kami berangkat menuju taman Luxemburg. Langit masih sepeti jam empat sore di Jakarta, tapi kami tahu 1,5 jam lagi selesai sudah dahaga hari ini. Kami sampai di taman itu hampir jam 9 malam dan mendapati sebuah bangku taman di depan kolam air mancur menghadap ke barat dengan istananya di sebelah kanan. Perfect spot! Saya membayangkan kami menyantap hidangan buka puasa saat matahari terbenam dengan pemandangan yang mempesona mata.

Baru saja saya dan Ollie berniat menata makanan yang kami bawa di atas meja taman, kami mendengar suara peluit berulang-ulang. Orang-orang di sekitar kami pun beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Ternyata gerbang taman ini akan ditutup jam 9 malam. Buyar sudah angan kami untuk makan dengan latar belakang pemandangan indah taman ini. Dengan lunglai kami pun beranjak mencari tempat lain untuk berbuka puasa. Beruntung kami menemukan taman kecil di tengah kafe-kafe tak jauh dari Luxemburg Jardin. Taman ini terlalu ramai, namun kami sudah terlalu lelah untuk mencari perfect spot lainnya. 

Tak ayal saya dan Ollie jadi perhatian orang sekitar. Dua wanita berhijap dengan tas keril besar dipunggungnya menenteng kamera dan plastik besar berisi makanan. Dipinggir kolam mini kami membuka bekal buka puasa yang kami bawa. Bisa jadi kami dikira backpacker muslim yang kelaparan atau mungkin duet pemudi yang kabur dari rumah dan sekarang tidak punya tempat tinggal alias homeless. Entahlah. Tapi kami terlalu lapar untuk menghiraukan orang-orang sekitar. 

Setelah perut kami terisi kembali dan emosi tentang taman tadi mulai teredam, kami siap untuk agenda terakhir di kota ini. Fete de la Musique. Tak jauh dari taman kecil ini, tepat di pojokan jalan sekelompok musisi sedang mempersiapkan alat tempurnya. Kami pun memutuskan untuk menghabiskan malam di sini. Selain karena enggan berjalan lebih jauh, tempat ini dekat dengan stasiun RER sehingga akan memudahkan kami untuk menuju bandara tengah malam nanti. Beruntung band ini membawakan beberapa lagu yang bisa kami nyanyikan menambah keasyikan konser kecil ini. Anak-anak muda lokal pun berdiri mengeliling panggung mini dan ikut bernyanyi. Bahkan ikut melompat-lompat ketika merea membawakan lagu yang bersemangat. Saya dan Ollie dengan antusias menikmati musik dari atas pagar besi, duduk sambil mendokumentasikan beberapa scene dari panggung malam ini. Hampir dua jam kami menikmati atmosfer malam Paris dengan festival musiknya yang romantis. Dan Fete de la Musique inilah yang akhirnya menutup perjalanan kami di Paris dengan manis. 


Thursday, January 31, 2019

Memeluk Mimpi di Kota Paris (Part 1)

Mimpi itu muncul sepuluh tahun yang lalu saat saya dan beberapa teman satu jurusan berpartisipasi dalam sebuah kompetisi global bertajuk “Airbus Fly Your Ideas”. Kompetisi ini digadang Airbus guna memacu mahasiswa berinovasi, menggagas ide untuk masa depan dunia aviasi. Menariknya, lima tim terbaik nantinya akan mempresentasikan ide mereka di Paris Air Show, perhelatan dirgantara terbesar dan tertua di Eropa yang diadakan setiap dua tahun sekali. Iming-iming air show menjadi sangat menggiurkan bagi saya yang saat itu berstatus mahasiswa Teknik Penerbangan. Maka, 2009 adalah tahun dimana saya mulai memimpikan Paris.

Di tahun pertamanya, kompetisi ini diikuti 2350 mahasiswa baik S1, S2 dan S3 dari 82 negara di dunia. Bersaing dengan 225 proposal lainnya, tim Rajawali yang digawangi Stepen, Alus, Hicha, bang Hughes, dan saya, berhasil menjadi salah satu dari 86 tim yang dianggap layak untuk mengikuti seleksi tahap kedua. Setiap tim mendapat bimbingan langsung dari tenaga ahli Airbus untuk menjabarkan ide penelitiannya secara lebih mendetail. Dibabak ini, masing-masing tim harus membuat sebuah video untuk merepresentasikan gagasannya. 

Kala itu, kami mengusung penggunaan serat alami untuk menggantikan peredam suara sintetis. Idenya adalah pemanfaatan serabut kelapa sebagai bahan dasar penyusun material komposit panel kabin di pesawat udara. Serabut kelapa pada dasarnya memiliki potensi sebagai penyerap suara yang biodegradable dan di negeri ini jumlahnya melimpah, akan tetapi belum termanfaatkan secara maksimal. Menarik bukan? Namun sayangnya, angan kami untuk terbang ke Paris Air Show harus terhenti di babak ini. Video animasi yang kami buat, gagal mengantarkan tim rajawali ke lima besar. Sesaknya lagi, tim Coz dari University of Queensland, salah satu finalis yang kemudian menjadi jawaranya, mengusung ide serupa yakni penggunaan serat komposit dari pohon jarak, juga untuk material kabin pesawat.

Bayang Paris Air Show pun kian memudar. Sungkan rasanya berangkat sendiri ke sana mengingat jarak yang jauh dan biaya yang tidak sedikit. Dua kali air show ini terlewati, hingga akhirnya tahun 2014 lalu saya melanjutkan studi S2 ke Cranfield University, Inggris. Berada di benua yang sama, Inggris dan Prancis hanya berjarak 1,5 jam penerbangan dengan harga tiket yang lebih murah daripada pesawat saat saya mudik lebaran. Sangat dekat dan terjangkau. Keberangkatan saya tahun 2014 pun lalu seolah takdir yang memberi saya kesempatan untuk membubuhkan satu lagi tanda centang di daftar mimpi, mengingat waktu studi master di Inggris yang hanya satu tahun, sedang Paris Air Show ke-51 akan dilaksanakan di musim panas tahun 2015. Ada hikmahnya juga saya gagal berangkat studi di tahun 2013. 

Dua bulan sebelumnya saya mulai merencanakan perjalanan impian ke utara kota Paris. Berharap momen ini bisa menjadi ajang reunian tim Rajawali, saya mengajak anggota tim lainnya untuk bersama-sama hadir di Le-Bourget bulan Juni nanti. Sayangnya, hanya Alus yang menyanggupi. Dia memang tengah menyelesaikan studi masternya di Delft, Belanda. Stepen dan Hicha sedang bekerja dan studi di Jepang, sedang bang Hughes masih terikat tugas negara di angkatan udara. Rencananya saya akan mengujungi Alus di Belanda, baru kemudian kami berangkat bersama menuju Prancis setelah sebelumnya bermain-main di Belgia. Tiga negara tersebut bertetangga, jadi saya pikir tidak ada salahnya ‘aji mumpung’ menjajal tiga negara di barat Eropa. 

Baik Belanda, Belgia maupun Prancis mengharuskan penduduk non Uni Eropa untuk memiliki visa Schengen sebagai perizinan memasuki wilayahnya. Sedangkan Inggris tidak termasuk satu dari 26 negara Schengen. Ini berarti sebagai pemegang visa pelajar Inggris, saya masih harus mengurus visa kunjungan sebagai tiket masuk ke Eropa daratan. Normalnya, proses aplikasi visa memakan waktu dua minggu, bisa lebih cepat jika sedang beruntung. Seperti umumnya visa wisata, Schengen juga perlu itinerary yang jelas, lengkap dengan moda transportasi dan akomodasi selama perjalanan.

Saya membeli tiket keberangkatan ke Belanda dan kepulangan dari Prancis seharga kurang dari £50 (sekitar Rp1.000.000) dengan menumpang pesawat Easy Jet, low cost carrier versi Eropa. Sedangkan untuk transportasi antar negara, saya memesan Megabus. Selain murah, bus ini juga menawarkan fitur pembatalan dan pengubahan jadwal keberangkatan dengan biaya administrasi hanya £1 (sekitar Rp20.000) saja. Beberapa Megabus juga dilengkapi akses internet gratis, tapi kecepatannya akan membuat penumpang menggerutu. Tampaknya embel-embel “free Wi-Fi” hanya gimmick pemasaran semata.

Sebagai pelengkap persyaratan visa, saya memesan hotel secara online dengan kebijakan “free cancellation”. Artinya, saya bisa membatalkan pemesanan dalam jangka waktu tertentu tanpa dibebankan biaya. Sebenarnya banyak hotel backpacker atau bed and breakfast (BnB) yang menawarkan tempat menginap murah kisaran £15 (sekitar Rp300.000) per orang, per malam. Tapi, menumpang di tempat tinggal teman adalah opsi yang menarik dan tentu saja lebih murah. Alhasil, hotel pun hanya dipesan untuk persyaratan visa saja dan akan dibatalkan setelah visa disetujui. Penny-wise idea, isn’t? 

Tahu bahwa saya berencana singgah di Belgia untuk skydiving, Ollie memutuskan ikut bergabung di perjalanan ini beberapa minggu sebelum keberangkatan. Saat itu, dia pun tengah melanjutkan pendidikan di Southampton. Setelah sebelumnya kami pernah road trip ke Scotland bersama, bagi saya, Ollie adalah teman backpacker yang seru, kadang impulsif dengan tingkat kewarasan yang agak kurang dari takaran seharusnya. 
***

Perjalanan ini bermula di Belanda. Dan penerbangan kami ke Eindhoven dijadwalkan dari bandara Stansted di pinggir kota London. Saya dan Ollie sudah berada di ibu kota sehari sebelum keberangkatan untuk mengejar pesawat di pagi buta. Maklumlah, tiket murah terkadang harus dikompensasi dengan jadwal penerbangan yang tidak bersahabat. Kurang dari dua jam penerbangan, kami sudah berpindah negara. Dari Inggris ke Belanda. Berbeda dengan Inggris yang berangin, di Belanda kami disambut hangat matahari, dan Alus! Eindhoven menjadi saksi reuni dua teman kuliah sarjana yang bertemu kembali di lain benua.


Bersama Alus dan Ollie
14 Juni 2015, kami sudah menginjakkan kaki di Belanda. Sedangkan Paris Air Show sendiri akan berlangsung selama seminggu mulai tanggal 15 hingga 21 Juni. Tujuan utama dari air show ini sebenarnya adalah untuk mendemonstrasikan pesawat militer dan sipil kepada potential customer. Harapannya, kontrak-kontrak penjualan akan disepakati selama kegiatan berlangsung. Karena inilah, Paris Air Show hanya dibuka untuk umum selama tiga hari terakhir. Saya memilih hari Jumat, 19 Juni sebagai hari bersejarah, berharap pengunjungnya tidak akan seramai hari libur di akhir pekan. Ini berarti kami punya waktu beberapa hari untuk melenggang di Belanda dan Belgia. Empat hari kami menjajal negeri kinci angin. Sisanya kami habiskan di negara asal tokoh kartun Tintin, Belgia. Sampai akhirnya tanggal 19 yang dinanti pun tiba. Dini hari kami bertiga bertolak dari Brussel menempuh lima jam perjalanan dengan bus menuju Paris.
***

Tiba di Paris-Gare de Lyon jam 6 pagi, kami bergegas mencari transportasi yang bisa mengantarkan kami ke dormitory Tsania. Selama di Paris kami akan menginap di sana. Tsania adalah teman Ollie semasa kuliah sarjana yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan di salah satu kampus perminyakan bergengsi di Paris, IFP School. 

Ada beberapa pilihan transportasi publik di Paris selain taksi, yaitu Metro, RER (Reseau Express Regional), dan bus. Metro adalah subway atau tube yang umumnya berada di bawah tanah dan hanya beroperasi di pusat kota Paris. Sedangkan RER adalah kereta commuter yang lebih cepat daripada Metro dengan jangkauan yang lebih luas. Sistem transportasi di region parisienne dibagi menjadi lima zona. Zona 1 adalah wilayah ibu kota, zona 2 adalah area lebih luar yang mengelilingi zona 1, zona 3 adalah area lebih luar yang mengelilingi zona 3, dan seterusnya. Sebenarnya, tiket bisa dibeli per perjalanan, namun jika kita akan berkeliling Paris, akan lebih hemat membeli travel pass yang mencakup setidaknya zona 1-3. Travel pass bisa digunakan dalam zona tersebut untuk semua jenis transportasi publik dalam jangka waktu tertentu; 1, 2, 3 atau 5 hari berturut-turut. Tiket harian ini berlaku mulai 05.30 dihari pembelian hingga 05.30 esok harinya walau umumnya transportasi publik hanya beroperasi hingga pukul satu dini hari. 

Lama berkutat dengan petugas informasi dan mesin tiket, kami akhirnya bisa menemukan cara untuk menuju area Rueil-Malmaison yang berada di zona 3. Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan dengan RER dan berganti bus, kami pun sampai di dormitory Tsania. Alus akan menumpang di kamar teman laki-laki Tsania yang juga berada di bangunan yang sama. Kami punya waktu sekitar dua jam untuk beristirahat dan bersiap sebelum berangkat menuju Le-Bourget menyambangi Paris Air Show. 
***
Kami sampai di gerbang bandara Le-Bourget menumpang shuttle bus gratis yang disediakan panitia dari stasiun RER terdekat menuju lokasi air show. Tidak sedikit ternyata yang datang hari ini. Berbekal tiket yang didapatkan secara online, kami mengantri dikeramaian. Tiket masuk per hari bisa dibeli seharga €14 (sekitar Rp210.000), dan mahasiswa dengan umur dibawah 27 tahun bisa mendapatkan tiket gratis dengan mengunggah kartu identitasnya. 

My dream comes true! Saya akhirnya menginjakkan kaki di Le-Bourget bersama kerumunan manusia yang juga ingin menyaksikan Paris Air Show, tapi dengan rasa yang berbeda. Rasanya seperti sampai di puncak gunung yang sudah saya daki sejak kemarin pagi. Bahagia dan bangga. Mungkin bagi orang lain hal ini biasa saja, tapi tidak buat saya. Ini spesial, karena impian beberapa tahun silam akhirnya terwujud di hari itu, 19 Juni 2015. Sejenak saya biarkan diri menikmati momen bersejarah ini. 
***

Saya menghampiri panitia di depan pintu masuk yang membagikan brosur informasi berisikan denah dan schedule acara. Denah ini adalah alat bantu utama bagi para pengujung untuk menemukan lokasi dari booth dan static displays yang ingin dilihat di area yang luasnya lebih dari 120.000 m2 ini. Brosur tersebut juga menghighlight waktu pertujukan dari beberapa wahana udara setiap harinya sehingga kita bisa bersiap-siap menuju lokasi yang tepat untuk menyaksikan air show yang kita inginkan. Di tahun 2015 ada lebih dari 2000 exhibitor dari 48 negara. Didalamnya termasuk 130 jenis pesawat udara baik static displays maupun flying displays. Dari tiga puluh flyby hari ini, sedikitnya ada enam pertujukan udara yang ingin saya saksikan. Jadwal terbang mereka pun saya tandai agar momennya tidak terlewatkan. 

Pertama E-Fan, pesawat besutan Airbus yang menggunakan dua motor elektrik sebagai penggerak. Dilengkapi sebuah baterai lithium, pesawat ini bisa terbang selama satu jam. Walaupun saat ini masih berupa prototipe dengan dua kursi, E-Fan adalah langkah awal untuk pengembangan pesawat penumpang bertenaga elektrik di masa depan. Menyaksikan E-Fan di udara menegaskan bahwa pesawat dengan mesin tanpa residu CO2 tidak mustahil untuk diwujudkan.

Kedua A380, pesawat penumpang terbesar di dunia buatan Airbus dengan panjang sekitar 72 m. Sebagai perbandingan, lapangan sepak bola panjangnya adalah 90 m. Pesawat dua tingkat ini bisa memuat lebih dari enam ratus penumpang. Saya terkagum-kagum melihat pesawat ini meliuk di udara, berbelok ekstrim dengan badan raksasanya, tentu saja tanpa penumpang di dalamnya. 

Ketiga Dassault Rafale, salah satu jet tempur yang hadir hari ini. Kenapa harus Rafale? Sederhana. Karena nama ini yang paling familiar di antara deretan nama pesawat tempur yang ada dalam brosur informasi. Rafale sendiri dalam Bahasa Prancis berarti hembusan angin. Tentu saja yang sangat kencang. Menyaksikan demonstasi jet tempur selalu luar biasa buat saya karena mereka terbang dengan kecepatan tinggi melebihi kecepatan suara. Suatu hal yang tidak setiap hari saya saksikan, apalagi ketika mereka terbang rendah. Suara dan kecepatannya menakjubkan. Ingin rasanya duduk di kursi tandem pesawat tempur agar bisa ikut merasakan keseruan pilot ketika mereka menari-nari di udara. 

Keempat Patrouille de France (PAF) Alpha Jet, tim aerobatik dari French Air Force yang menunggagi pesawat Dassault ‘Aplha Jet’. Ini adalah pertunjukan paling menarik untuk disaksikan karena demonstasi udara tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua pesawat, tapi delapan sekaligus. Pesawat-pesawat ini meliuk-liuk membentuk beberapa formasi sambil mengeluarkan asap berwarna putih, biru, dan merah kombinasi bendera Prancis. Pertunjukkan A380 dan Rafale sebelumnya menerima banyak sorakan ‘ahhh’ dan ‘oooh’ dari penonton, tapi tepukan paling meriah tetap jatuh pada PAF Alpha Jet. Tim aerobatik memang selalu menjadi jawara setiap air show.

Kelima A400M, pesawat transportasi militer dengan empat mesin turbo-propeller yang menjadi referensi utama untuk desain pesawat dalam tugas kelompok saya di Cranfield. Menyaksikan pesawat ini terbang serasa melihat ke masa depan kiranya pesawat yang kami desain nantinya akan bisa mengudara. Walaupun hanya proyek akademik, tentu impian dari setiap aircraft designer adalah menyaksikan pesawat rancangannya melenggang di angkasa.

Keenam Yakolev Yak-3, pesawat tempur baling-baling buatan Uni Soviet yang diklaim memiliki performa lebih baik dibandingkan ‘Spitfire’ buatan Inggris. Sepertinya akan sangat menarik menyaksikan dua pesawat baling-baling yang dulunya digunakan dalam pertempuran di World War II dalam satu panggung udara. Sayangnya, ‘Spitfire’ tidak ada dalam daftar pertunjukan kali ini. 

Pertujukkan udara dimulai tengah hari dan masing-masing pesawat diberikan waktu sekitar sepuluh menit untuk unjuk kemampuan kecuali PAF Alpha Jet yang diberikan waktu lima menit lebih lama. Sembari menunggu jadwal terbang pesawat, saya berkeliling area pameran. Tidak hanya pesawat utuh, tapi mesin, roda pendarat dan perangkat avionik juga dipamerkan di sini. Ada simulator yang bisa dicoba oleh pengunjung publik, tapi ada pula area terbatas yang hanya bisa didekati oleh undangan saja. Salah satunya area Airbus E-Fan. Sangat disayangkan saya tidak berkesempatan melihat lebih dekat dan bertanya mengenai detail pesawat ini. Padahal E-Fan menjadi salah satu referensi dalam tesis master saya yang juga mengangkat tema pesawat elektrik, namun masih dikombinasikan dengan mesin berbahan bakar avtur. Satu lagi yang menarik dari static displays kali ini adalah roket setinggi lima puluh meter, Ariane 5. Roket ini digunakan untuk mengirimkan muatan ke orbit bumi tertentu. Kemegahannya pun mengusik saya untuk berfoto sebagai salah salah satu bukti bahwa saya pernah menatapnya dekat di Paris Air Show. 

Seharian kami habiskan di Le-Bourget. Bagi saya dan Alus yang memang menekuni dunia dirgantara, hari ini sangat menyenangkan. Tapi saya rasa Ollie juga tidak menyesali pengalaman barunya dengan atraksi beberapa pesawat udara yang mempesona. 


--to be continued

Thursday, January 24, 2019

Diving Pertama, Begitu Menggoda

Akhir-akhir ini di Instagram sedang ramai #10YearsChallenge. Netizen diajak untuk mengunggah foto masing-masing dari 10 tahun yang lalu. Mungkin sebagai bahan perbandingan untuk melihat perubahan dan pencapaian dibandingkan dengan 10 tahun silam, atau bisa jadi hanya untuk nostagia.  Berencana ikut serta dalam trend ini, koleksi foto-foto lama pun saya ulik kembali. Saya lihat lagi galeri foto yang tersimpan di laptop, Instagram, Facebook, sampai akhirnya saya temukan sebuah foto ini dalam posting-an di blog terdahulu, foto pertama saya di bawah laut.  

Finding Nemo
Sayangnya foto ini tidak memenuhi kriteria karena baru berusia 9 tahun, tepatnya diambil di bulan Februari 2010. Tapi foto ini mengingatkan saya akan kejadian konyol 9 tahun lalu. 

Waktu itu, saya dan beberapa teman kuliah berpartisipasi dalam konferensi RC-MeAe di Sanur, Bali. Selama dua hari, saya terlibat di kegiatan ini. Tidak hanya sebagai panitia, tapi saya juga berkesempatan untuk mempresentasikan poster tugas akhir saya dalam konferensi tersebut. Untuk sebagian kami, termasuk saya, ini adalah kali pertama menyambangi Bali. Dua hari tentunya kurang untuk bisa menikmati keindahan Pulau Dewata. Apalagi, kami lebih banyak disibukkan dengan kegiatan di konferensi. Akhirnya, saya dan 8* orang teman memutuskan untuk extend liburan di Bali.

Seolah didukung oleh alam semesta, banyak  keberuntungan yang kami alami di liburan kali ini. Terutama penghematan di pengeluraan. Maklumlah, untuk anak kuliahan yang saat itu belum punya penghasilan tetap, budget jalan-jalan harus diminimalisir. Keberuntungan ini diawali dengan tiket pesawat murah yang kami dapatkan untuk kepulangan ke Bandung. Berkat kemurahan hati salah satu dosen saya, Pak Raka, kami pun mendapatkan tempat tinggal selama di Bali dengan cuma-cuma. Memang saat itu saya sedang membantu penelitian mba Dewi, anak Pak Raka yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Mengetahui saya akan extend beberapa hari di Bali, Pak Raka menawarkan rumahnya di daerah Gianyar. Tidak hanya rumah, kami pun dipinjami mobil berikut supirnya. Beruntung!

Pagi hari setelah check out, kami menyempatkan diri untuk jalan-jalan di dalam kota sebelum menuju Gianyar, sembari menunggu jemputan supir Pak Raka. Barang-barang kami tinggal di concierge hotel agar lebih leluasa. Rute pagi ini kami serahkan ke supir teman bokapnya Stepen yang bersedia menjadi guide kami di kota Denpasar. Oleh Pak Supir kami diajak ke Tanjung Benoa menuju wahana watersport di daerah Badung, Kuta Selatan. Namun rupanya harga wahana permainan di sana cukup mahal. Paraceiling dihargai Rp. 150.000 sementara discovery diving Rp. 450.000, bahkan lebih mahal daripada tiket pesawat pulang yang kami beli. Uang insentif dari kepanitian tidak mencukupi untuk mencoba banyak wahana permainan. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dulu sambil berdiskusi. Perut kami memang sudah keroncongan, meronta minta diisi makanan.

Jauh-jauh main ke Bali, restoran yang dipilih tetap warung padang. Lebih terjamin rasanya, pikir kami. Di sana kami bertemu dengan Pak Agus, pembimbing Iqbal saat kerja praktek di PTDI. Obrolan makan siang dengan Pak Agus dan teman-temannya mengantarkan kami pada solusi untuk kantong mahasiswa kere yang pengen main di Tanjung Benoa. Pak Agus ternyata punya teman yang mengelola wahana watersport di sana dan kami bisa dapat harga spesial. Diantarkan Pak Agus, kami kembali ke Tanjung Benoa. Masalah tawar menawar harga kami serahkan sepenuhnya ke beliau. Alhasil, dengan Rp. 300.000 kami bisa merasakan diving dan parasailing. Setengah dari harga sebelumnya. Alhamdulillah, lagi-lagi beruntung. 

Bodohnya saya tidak mempersiapkan pakaian ganti. Barang-barang saya tinggal di hotel. Awalnya memang hanya ingin sekedar jalan-jalan di sekitar Bali tanpa basah-basahan. Tapi rencana berubah karena takdir membawa kami ke Tanjung Benoa yang murah. Sialnya, di sana tidak tersedia diving suit berlengan panjang untuk saya yang berhijab. Saat itu saya hanya mengenakan kaos oblong dengan jaket. It's my favorite style that time, t-shirt with zipped hoodie, bahkan untuk Bali yang panas sekalipun.

Untuk memuaskan rasa penasaran, tekad saya bulat ingin mencoba diving pertama kalinya hingga akhirnya saya diving dengan hoodie berbalut diving suit, seperti foto di atas. Kalau diingat lagi, ini bodoh dan aneh memang. Bahkan sang instruktur divingnya pun menertawakan kekonyolan saya. "Baru kali ini saya lihat ada yang diving pakai jaket", katanya. Lihat, jaket abu favorit saya menyembul dari dalam diving suit lengan pendek yang saya pakai. Sampai kinipun  jaketnya masih tersimpan rapi dalam lemari. Sebagai pengingat salah satu kekonyolan yang pernah saya alami.

Well, it was unplanned. Tapi inilah yang mengantarkan saya ke pengalaman diving berikutnya. Terima kasih Tanjung Benoa. And now, I already hold advanced certification for scuba diving. Perkenalan pertama yang begitu menggoda ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bawah laut Indonesia lainnya. Ya, yang pertama biasanya selalu berkesan, tapi yang kedua, ketiga dan selanjutnya bisa jadi lebih indah.


8 orang: Stepen, Iqbal, Luthfi, Soleh, Hafiz, Sakti, Anu dan Ridlo